Pages

24 April 2015

Suku Cirebon (Ilmu Budaya Dasar)

Suku Cirebon

Masyarakat Cirebon adalah masyarakat yang lahir dari akulturasi budaya Sunda dan Jawa termasuk lahir dari masa animisme dan dinamisme yang percaya kepada hal-hal yang bersifat kepercayaan. Diantara kepercayaaan itu adalah misal mereka percaya bahwa jika seorang gadis duduk di depan pintu maka gadis tersebut akan sulit menemukan jodoh. Selain itu, jika seorang gadis menyapu tidak sampai bersih dan meninggalkan kotoran maka gadis tersebut diyakini akan memiliki suami yang memiliki jenggot. Seiring perkembangan zaman serta masuk agama Islam, masyarakat Cirebon lebih mulai rasional dalam memandang apapun termasuk persoalan yang ada. Banyak perubahan dalam masyarakat Cirebon yang mengedepankan sikap-sikap rasional dalam menentukan banyak hal dalam kehidupan.


Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari Bahasa Jawa, Sunda, Arab dan China yang mereka sebut sebagai Bahasa Cirebon. Mereka juga memiliki dialek Bahasa Sunda tersendiri yang disebut Bahasa Sunda Cirebon.


1.      Bahasa
Dahulu Bahasa Cirebon ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"[3] yang merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa Baku.

·         Perdebatan Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri)
Perdebatan tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.

A.      Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa Jawa
Penelitian menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter menunjukkan perbedaan kosa kata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76 persen.[4] Untuk diakui sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar 80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut.
Artinya, ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.

B.      Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri
Revisi Perda, sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa kata dari bahasa Jawa maupun Sunda.
”Selain itu, bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware, dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Pakar Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan.
2.      Adat

1.       Adat Pernikahan Agung (Pelakrama Ageng)
Pernikahan Adat Cirebon ini memiliki nilai kearifan lokal akan kesederhanaan masyarakat cirebon dalam melaksanakan sebuah hajatan besar, sebagai contohnya adalah dalam seserahan pernikahan adat cirebon yang hanya mensyaratkan umbi-umbian, sayuran dan mas picis saja (mas kawin berupa uang dan perhiasan semampu pihak calon mempelai pria) dimana dalam melaksanakan hajatan tersebut masyarakat cirebon lebih mengutamakan unsur agama islam diantaranya menghindari "ria (sikap ingin dipuji)" dibanding unsur lainnya. Berikut tahapan-tahapan :
·         Meminang
Meminang atau dalam Bahasa Cirebon disebut tetali atau njegog merupakan sebuah prosesi awal dari tahapan Pernikahan Agung masyarakat Cirebon dimana utusan pihak pria datang ke rumah orangtua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang anak gadis. Lalu ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai persetujuan. Si gadis pun memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut. Setelah mendapat jawaban, utusan dan orangtua si gadis langsung berembug menentukan hari pernikahan. Setelah ada kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan kepada orangtua pihak pria.

·         Seserahan
Pada hari seserahan, orangtua gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan utusan pihak pria yang disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara lain:
-          Pembawa buah-buahan
-          Pembawa umbi-umbian
-          Pembawa sayur-mayur
-          Pembawa mas picis yaitu mas kawin berupa perhiasan dan uang untuk diserahkan kepada orangtua gadis.

·         Siraman (Siram Tawandari)
Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju hidup baru dengan pasangannya.
“Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar, “
“Dalam Islam, setiap kita hendak beribadah pasti diawali dengan membersihkan diri. Siraman juga merupakan cara membersihkan diri, dan menikah adalah bagian dari ibadah. Jadi, sebelum menikah digelar siraman terlebih dulu agar bersih jiwa dan raga,    ”

·         Berhias (Parasan)
 Berhias atau dalam Bahasa Cirebon disebut Parasan dilakukan oleh calon mempelai wanita setelah acara siraman, salah satu prosesi parasan adalah ngerik yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru rias seraya disaksikan oleh orangtua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan musik karawitan moblong yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.

·         Ziarah Kubur (Ziarah)
Ziarah makam adalah berdoa untuk leluhur yang telah tiada, apabila calon pengantin masih merupakan keturunan dari Keraton Cirebon biasanya sebelum acara pernikahan dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati dan makam leluhur raja-raja Cirebon di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Cirebon Astana Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon untuk mendapatkan restu.

·         Membawa Pengantin (Tenteng Pengantin)
 Tiba hari pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan menyampaikan maksud kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin wanita.          
Ijab Qabul dalam Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan ragam Bahasa Cirebon Bebasan.

·         Pertemuan Pengantin (Temon)
Selesai akad nikah dilakukan upacara pertemuan pengantin pria dengan pengantin wanita atau yang disebut dengan temon atau salam temon . Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:
“kulit sebagai wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih. Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan.”

·         Menebar Uang (Sawer / Surak)
 Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan rasa bahagia orangtua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan atau dalam bahasa cirebon disebut sawer sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi, biasanya saat menaburkan atau menebar uang receh akan terdengar suara riuh kegembiraan mereka yang memperebutkan uang, beras kuning dan kunyit tersebut, suara riuh kegembiraan inilah yang disebut sebagai surak.

·         Menaburkan Pugpug (Pugpugan Tawur)
 Dengan posisi jongkok, kepala pengantin ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit yaitu ilalang atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik. Selesai acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi pengantin di pelaminan.

·         Makan Nasi Ketan Kuning (Adep-adep Sekul)
 Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah 13 butir. Pertama, orangtua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat butir. Dilanjutkan dengan orangtua pihak pria memberi suapan sebanyak empat butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi. Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan butiran nasi ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki paling banyak.

·         Mohon Doa Restu Orang Tua (Sungkem)
Kedua pengantin melakukan sembah sungkem pada orangtua dengan cara mandap (berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada orangtua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya seia, sekata, sehidup, semati.
3.      Kebudayaan
A.      Hubungan dengan Kebudayaan Sunda
Hubungan dengan Suku atau Kebudayaan Sunda ditandai dengan adanya Keraton Cirebon sebagai sebuah bentuk eksistensi adanya Suku Cirebon, dimana pendiri Keraton Cirebon yaitu Raden Walangsungsang dan Nyai rara santang serta Pangeran Surya yang merupakan Kuwu di Kaliwedi masih keturunan Kerajaan Pajajaran yang merupakan Kerajaan Sunda namun dalam perkembangan selanjutnya Keraton Cirebon yang merupakan lambang eksistensi keberadaan Suku Cirebon memilih jalannya sendiri yang kebanyakan bercorak islam.

B.      Hubungan dengan Kebudayaan Jawa
Dalam kaitannya dengan Kebudayaan Jawa, keberadaan Bahasa Cirebon selalu dikaitkan dengan Bahasa Jawa dikarenakan adanya Tata Bahasa Cirebon yang mirip dengan Tata Bahasa Jawa, serta adanya beberapa kata dalam bahasa cirebon yang juga memiliki arti sama dalam Bahasa Jawa.
“Isun arep lunga sing umah.”
Kalimat dalam bahasa cirebon di atas berarti "saya mau pergi dari rumah" dimana jika dialihkan dalam bahasa jawa kata ini menjadi "aku arep lungo sing umah" sehingga didapatkan kata yang hampir serupa akan tetapi ragam kalimat dalam bahasa cirebon tidak hanya terbatas dari serapan Bahasa Jawa, perhatikan ragam dialek dari bahasa cirebon berikut :
“ari khaul mulae bakda magrib mah punten, isun beli bisa teka, ana janji sih karo adhine                .”

dalam kalimat di atas ditemukan kata "ari" yang merupakan serapan dari bahasa sunda dan kata "bakda" yang merupakan serapan dari bahasa arab. dimana jika dialihkan ke dalam bahasa sunda baku ataupun jawa baku akan ditemukan ragam kosakata yang berbeda dengan kalimat di atas.

No comments:

Post a Comment