Suku Cirebon
Masyarakat
Cirebon adalah masyarakat yang lahir dari akulturasi budaya Sunda dan Jawa
termasuk lahir dari masa animisme dan dinamisme yang percaya kepada hal-hal
yang bersifat kepercayaan. Diantara kepercayaaan itu adalah misal mereka
percaya bahwa jika seorang gadis duduk di depan pintu maka gadis tersebut akan
sulit menemukan jodoh. Selain itu, jika seorang gadis menyapu tidak sampai
bersih dan meninggalkan kotoran maka gadis tersebut diyakini akan memiliki
suami yang memiliki jenggot. Seiring perkembangan zaman serta masuk agama
Islam, masyarakat Cirebon lebih mulai rasional dalam memandang apapun termasuk
persoalan yang ada. Banyak perubahan dalam masyarakat Cirebon yang
mengedepankan sikap-sikap rasional dalam menentukan banyak hal dalam kehidupan.
Bahasa yang
dituturkan oleh orang Cirebon adalah gabungan dari Bahasa Jawa, Sunda, Arab dan
China yang mereka sebut sebagai Bahasa Cirebon. Mereka juga memiliki dialek
Bahasa Sunda tersendiri yang disebut Bahasa Sunda Cirebon.
1.
Bahasa
Dahulu Bahasa
Cirebon ini digunakan dalam perdagangan di pesisir Jawa Barat mulai Cirebon
yang merupakan salah satu pelabuhan utama, khususnya pada abad ke-15 sampai
ke-17. Bahasa Cirebon dipengaruhi pula oleh budaya Sunda karena keberadaannya
yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, khususnya Sunda
Kuningan dan Sunda Majalengka dan juga dipengaruhi oleh Budaya China, Arab dan
Eropa hal ini dibuktikan dengan adanya kata "Taocang (Kuncir)" yang
merupakan serapan China, kata "Bakda (Setelah)" yang merupakan
serapan Bahasa Arab dan kemudian kata "Sonder (Tanpa)"[3] yang
merupakan serapan bahasa eropa (Belanda). Bahasa Cirebon mempertahankan
bentuk-bentuk kuno bahasa Jawa seperti kalimat-kalimat dan pengucapan, misalnya
ingsun (saya) dan sira (kamu) yang sudah tak digunakan lagi oleh bahasa Jawa
Baku.
·
Perdebatan
Bahasa Cirebon (Dialek Bahasa Jawa atau Bahasa Mandiri)
Perdebatan
tentang Bahasa Cirebon sebagai Sebuah Bahasa yang Mandiri terlepas dari Bahasa
Sunda dan Jawa telah menjadi perdebatan yang cukup Panjang, serta melibatkan
faktor Politik Pemerintahan, Budaya serta Ilmu Kebahasaan.
A. Bahasa Cirebon Sebagai Sebuah Dialek Bahasa
Jawa
Penelitian
menggunakan kuesioner sebagai indikator pembanding kosakata anggota tubuh dan
budaya dasar (makan, minum, dan sebagainya) berlandaskan metode Guiter
menunjukkan perbedaan kosa kata bahasa Cirebon dengan bahasa Jawa di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 75 persen, sementara
perbedaannya dengan dialek di Jawa Timur mencapai 76 persen.[4] Untuk diakui
sebagai sebuah bahasa tersendiri, suatu bahasa setidaknya membutuhkan sekitar
80% perbedaan dengan bahasa terdekatnya.
Meski kajian
Linguistik sampai saat ini menyatakan bahasa Cirebon ”hanyalah” dialek (Karena
Penelitian Guiter mengatakan harus berbeda sebanyak 80% dari Bahasa
terdekatnya), namun sampai saat ini Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor
5 Tahun 2003 masih tetap mengakui Cirebon sebagai bahasa dan bukan sebagai
sebuah dialek. Dengan kata lain, belum ada revisi terhadap perda tersebut.
Artinya,
ketika perda dibuat hanya dalam lingkup wilayah Jabar, Cirebon tidak memiliki
pembanding kuat yaitu bahasa Jawa. Apalagi, dibandingkan dengan bahasa Melayu
Betawi dan Sunda, Cirebon memang berbeda.
B. Bahasa Cirebon sebagai Bahasa Mandiri
Revisi Perda,
sebenarnya memungkinkan dengan berbagai argumen linguistik. Namun, kepentingan
terbesar yang dipertimbangkan dari sisi politik bisa jadi adalah penutur bahasa
Cirebon, yang tidak mau disebut orang Jawa maupun orang Sunda. Ketua Lembaga
Basa lan Sastra Cirebon Nurdin M. Noer mengatakan, bahasa Cirebon adalah
persilangan bahasa Jawa dan Sunda. Meskipun dalam percakapan orang Cirebon
masih bisa memahami sebagian bahasa Jawa, dia mengatakan kosakata bahasa
Cirebon terus berkembang tidak hanya ”mengandalkan” kosa kata dari bahasa Jawa
maupun Sunda.
”Selain itu,
bahasa Cirebon sudah punya banyak dialek. Contohnya saja dialek Plered, Jaware,
dan Dermayon,” ujarnya. Jika akan dilakukan revisi atas perda tadi, kemungkinan
besar masyarakat bahasa Cirebon akan memprotes.
Pakar
Linguistik Chaedar Al Wasilah pun menilai, dengan melihat kondisi penutur yang
demikian kuat, revisi tidak harus dilakukan. justru yang perlu dilakukan adalah
melindungi bahasa Cirebon dari kepunahan.
2.
Adat
1. Adat
Pernikahan Agung (Pelakrama Ageng)
Pernikahan
Adat Cirebon ini memiliki nilai kearifan lokal akan kesederhanaan masyarakat
cirebon dalam melaksanakan sebuah hajatan besar, sebagai contohnya adalah dalam
seserahan pernikahan adat cirebon yang hanya mensyaratkan umbi-umbian, sayuran
dan mas picis saja (mas kawin berupa uang dan perhiasan semampu pihak calon
mempelai pria) dimana dalam melaksanakan hajatan tersebut masyarakat cirebon
lebih mengutamakan unsur agama islam diantaranya menghindari "ria (sikap
ingin dipuji)" dibanding unsur lainnya. Berikut tahapan-tahapan :
·
Meminang
Meminang atau
dalam Bahasa Cirebon disebut tetali atau njegog merupakan sebuah prosesi awal
dari tahapan Pernikahan Agung masyarakat Cirebon dimana utusan pihak pria
datang ke rumah orangtua gadis dan menyampaikan maksud kedatangannya meminang
anak gadis. Lalu ibu si gadis akan memanggil anaknya untuk dimintai
persetujuan. Si gadis pun memberikan jawaban disaksikan utusan tersebut.
Setelah mendapat jawaban, utusan dan orangtua si gadis langsung berembug menentukan
hari pernikahan. Setelah ada kesepakatan, utusan mohon diri untuk menyampaikan
kepada orangtua pihak pria.
·
Seserahan
Pada hari
seserahan, orangtua gadis didampingi keluarga dekatnya menerima kedatangan
utusan pihak pria yang disertai rombongan pembawa barang seserahan, antara
lain:
-
Pembawa buah-buahan
-
Pembawa umbi-umbian
-
Pembawa sayur-mayur
-
Pembawa mas picis yaitu mas kawin berupa
perhiasan dan uang untuk diserahkan kepada orangtua gadis.
·
Siraman (Siram Tawandari)
Menurut Sultan Sepuh ke XIV Pangeran Raja Adipati
Arief Natadiningrat, Siraman melambangkan kesucian, prosesi siraman merupakan
tradisi memandikan calon pengantin dengan tata tradisi tertentu sebelum
pelaksanaan akad nikah. Hal itu bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga
calon pengantin sebelum melaksanakan akad nikah, yang menjadi pintu menuju
hidup baru dengan pasangannya.
“Sesuai ajaran Islam, bahwa amal perbuatan harus
didahului dengan membersihkan diri dari hadas, baik kecil maupun besar, “
“Dalam Islam,
setiap kita hendak beribadah pasti diawali dengan membersihkan diri. Siraman
juga merupakan cara membersihkan diri, dan menikah adalah bagian dari ibadah.
Jadi, sebelum menikah digelar siraman terlebih dulu agar bersih jiwa dan raga, ”
·
Berhias (Parasan)
Berhias atau dalam Bahasa Cirebon disebut
Parasan dilakukan oleh calon mempelai wanita setelah acara siraman, salah satu
prosesi parasan adalah ngerik yaitu membuang rambut halus yang dilakukan juru
rias seraya disaksikan oleh orangtua dan para kerabat. Acara ini diringi dengan
musik karawitan moblong yang artinya murub mancur bagaikan bulan purnama.
·
Ziarah Kubur (Ziarah)
Ziarah makam
adalah berdoa untuk leluhur yang telah tiada, apabila calon pengantin masih
merupakan keturunan dari Keraton Cirebon biasanya sebelum acara pernikahan
dilaksanakan, calon pengantin akan melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati
dan makam leluhur raja-raja Cirebon di Kompleks Pemakaman Raja-Raja Cirebon
Astana Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon
untuk mendapatkan restu.
·
Membawa Pengantin (Tenteng Pengantin)
Tiba hari
pernikahan yang telah disepakati, pihak gadis mengirimkan utusannya untuk
menjemput calon pengantin pria. Setiba di rumah keluarga pria dan utusan
menyampaikan maksud kedatangannya untuk menenteng (membawa) calon pengantin
pria ke tempat upacara pernikahan di rumah pihak gadis. Orangtua pengantin pria
tidak ikut dalam upacara akad nikah dan dilarang untuk menyaksikan. Pada waktu
ijab qabul, calon pengantin pria ditutup dengan kain milik ibu pengantin
wanita.
Ijab Qabul dalam
Pernikahan Agung atau Pelakrama Ageng Keraton Cirebon biasanya menggunakan
ragam Bahasa Cirebon Bebasan.
·
Pertemuan Pengantin (Temon)
Selesai akad nikah dilakukan upacara pertemuan
pengantin pria dengan pengantin wanita atau yang disebut dengan temon atau
salam temon . Kedua pengantin dibawa ke teras rumah atau ambang pintu untuk
melaksanakan acara injak telur. Telur yang terdiri dari kulit, cairan warna
putih dan kuning di dalamnya mengandung makna:
“kulit sebagai
wadah/tempat, putih adalah suci/pengabdian seorang istri, kuning lambang
keagungan. Dengan begitu segala kesucian dan keagungan sang istri sejak saat
itu sudah menjadi milik suaminya. Alat yang digunakan antara lain pipisan atau
sejenis batu persegi panjang/segi empat yang dibungkus dengan kain putih.
Pengantin pria menginjak telur melambangkan perubahan statusnya dari jejaka
menjadi suami dan ingin membina rumah tangga serta memiliki keturunan.”
·
Menebar Uang (Sawer / Surak)
Acara ini diadakan sebagai bentuk ungkapan
rasa bahagia orangtua atas terlaksananya pernikahan anak-anak mereka. Uang
receh yang dicampur dengan beras kuning dan kunyit ditaburkan atau dalam bahasa
cirebon disebut sawer sebagai tanda agar kedua pengantin diberikan limpahan
rezeki, dapat saling menghormati, hidup harmonis dan serasi, biasanya saat
menaburkan atau menebar uang receh akan terdengar suara riuh kegembiraan mereka
yang memperebutkan uang, beras kuning dan kunyit tersebut, suara riuh
kegembiraan inilah yang disebut sebagai surak.
·
Menaburkan Pugpug (Pugpugan Tawur)
Dengan posisi jongkok, kepala pengantin
ditaburi pugpugan oleh juru rias. Pugpugan ini terbuat dari welit yaitu ilalang
atau daun kelapa yang sudah lapuk. Acara ini bertujuan agar pernikahan dapat
awet bagaikan welit yang terikat erat sampai lapuk serta keduanya dapat
memanfaatkan sebaik mungkin rezeki yang mereka dapatkan dengan baik. Selesai
acara, oleh juru rias, pengantin dibawa ke pelaminan. Orangtua pengantin pria
lalu dijemput oleh kerabat dari pengantin wanita untuk bersama-sama mendampingi
pengantin di pelaminan.
·
Makan Nasi Ketan Kuning (Adep-adep Sekul)
Acara pengantin makan nasi ketan kuning ini
dipimpin oleh juru rias. Nasi ketan kuning ini dibentuk seperti bulatan kecil berjumlah
13 butir. Pertama, orangtua pengantin wanita menyuapi pengantin sebanyak empat
butir. Dilanjutkan dengan orangtua pihak pria memberi suapan sebanyak empat
butir. Lalu empat butir lagi, kedua pengantin bergantian saling menyuapi.
Sisanya satu butir untuk diperebutkan, siapa yang mendapatkan butiran nasi
ketan kuning terakhir melambangkan bahwa dialah yang akan mendapatkan rezeki
paling banyak.
·
Mohon Doa Restu Orang Tua (Sungkem)
Kedua
pengantin melakukan sembah sungkem pada orangtua dengan cara mandap
(berjongkok) yang merupakan cerminan rasa hormat dan terima kasih kepada
orangtua atas segala kasih sayang dan bimbingan yang selama ini dicurahkan
kepada anaknya. Kedua pengantin juga memohon doa restu untuk membina rumah
tangga sendiri bersama pasangan. Setelah acara sungkem, dilagukan kidung
Kinanti dengan harapan agar pengantin dapat menjalankan bahtera rumah tangganya
seia, sekata, sehidup, semati.
3.
Kebudayaan
A. Hubungan
dengan Kebudayaan Sunda
Hubungan
dengan Suku atau Kebudayaan Sunda ditandai dengan adanya Keraton Cirebon
sebagai sebuah bentuk eksistensi adanya Suku Cirebon, dimana pendiri Keraton
Cirebon yaitu Raden Walangsungsang dan Nyai rara santang serta Pangeran Surya
yang merupakan Kuwu di Kaliwedi masih keturunan Kerajaan Pajajaran yang merupakan
Kerajaan Sunda namun dalam perkembangan selanjutnya Keraton Cirebon yang
merupakan lambang eksistensi keberadaan Suku Cirebon memilih jalannya sendiri
yang kebanyakan bercorak islam.
B. Hubungan
dengan Kebudayaan Jawa
Dalam kaitannya dengan Kebudayaan Jawa, keberadaan
Bahasa Cirebon selalu dikaitkan dengan Bahasa Jawa dikarenakan adanya Tata
Bahasa Cirebon yang mirip dengan Tata Bahasa Jawa, serta adanya beberapa kata
dalam bahasa cirebon yang juga memiliki arti sama dalam Bahasa Jawa.
“Isun arep lunga sing umah.”
Kalimat dalam
bahasa cirebon di atas berarti "saya mau pergi dari rumah" dimana
jika dialihkan dalam bahasa jawa kata ini menjadi "aku arep lungo sing
umah" sehingga didapatkan kata yang hampir serupa akan tetapi ragam
kalimat dalam bahasa cirebon tidak hanya terbatas dari serapan Bahasa Jawa,
perhatikan ragam dialek dari bahasa cirebon berikut :
“ari khaul
mulae bakda magrib mah punten, isun beli bisa teka, ana janji sih karo adhine .”
dalam kalimat di atas ditemukan
kata "ari" yang merupakan serapan dari bahasa sunda dan kata
"bakda" yang merupakan serapan dari bahasa arab. dimana jika
dialihkan ke dalam bahasa sunda baku ataupun jawa baku akan ditemukan ragam
kosakata yang berbeda dengan kalimat di atas.
No comments:
Post a Comment